Jumat, 21 September 2012

"Dokter , Apoteker" ( ? )

            Hai sahabat blogger… kali ini entah mengapa saya ingin mencoba menulis tentang Dokter dan Apoteker dlam tanda kutinya “ Cs atau Vs “ ini karena kemarin salah satu sahabat saya menceritakan salah seorang kakak angkatan yang lagi magang di salah satu rumah sakit DIY selain itu saya sangat inspiratif sekali dengan tulisan dosen farmasi perguruan tinggi di Yogyakarta juga . Okelah mari kita mulai ya .. heheh (kayak mau lari sprint ajah )
            Kemarin eh lebih tepatnya beberapa hari yang lalu , sahabat saya menceritakan kaka angkatan yang magang di rumah sakit sebagai profesi apoteker mengalami banyak kejanggalan ( ups kayak dunia lain aja ) maksudnya itu kejanggalan dalam hal kefarmasian baik itu tentang penempatan obat dengan perbedaan kasta antar apoteker dan dokter . sebelum lebih jauh kalian membaca , ini adalh sebuah karya inspiratif saya jika ad kritik dan saran silakan leaving your coment guys :') jika ada yang salah akan rangkaikan kata serta kalimat yg tidak mengenakan hati kalian mohon maaf (karena saya manusia biasa dan msih tahapan belajar dan akan selalu belajar "lebay dikit " kekekek ) dan selamat menikmati sebuah rangkaian kata mahasiswa smester 3 heheh :')

            Siapa sih yang nggak tau kalo dokter dari dulu sampai sekarang masih dinilai istimewa , iya memang profesi yang istimewa dan profesi yang mulia juga . Dokter itu bagi saya dan mungkin yang lain menggangpnya sangatlah mulia sekali ,bisa membantu mengobati orang yang lagi sakit kan ? tapi sayang sekarang banyak dokter yang mengejar materi , nggak salah juga sih sekarang biaya pendidikan dokter itu sangat tinggi blogger , banyak sekali rincian biaya mereka sekolah dikarenakan itu juga bisa dikatakn mengejar “ balik modal “ istilahnya begitu . Kesehatan memang mahal tapi issue yang banyak sekarang dokter yang buka praktek sendiri tanpa berkerja sma dengan apoteker/apotek atau istilah lainya itu memberikan resep obat langsung di “TKP” dan banyak sekali dokter yang langsung bekerja sma dengan produk obatnya langsung dengan imbalan jika dokter trsebut memakai produk mereka . ketika mencapai omset pemakaian akan diberikan imbalan seperti liburan keluar negeri dan macem-macem lagi deh ,nah itu sih issue-issue yang sekarag lagi naik daun . jikalau produk tersebut tidak cocok dengan pasien , apakah tega seorang dokter hanya memikirkan keegoisan akan kebhagian atau kesuksesannya saja ?  apakah produk itu tetap akan diberikan demi hadiah-hadiah yg dijanjikan ? bukankah itu dokter yg tidak punya hati nuraninya sebagi dokter  yang sesunguhnya ?  memang sih yah pemberian obat di tempat praktek langsung itu diperbolehkan tapi jika itu jauh dari keberadaan apotek atau memang berada ditempat terpencil tau keadaan yg mendesak .
            Okey blogger tidak semua dokter seperti itu , pasti dan saya sangat yakin msih ada dokter yang selalu memikirkan pasiennya dari beberapa kalangan , karena ketika pasien yang berasal dari kalangan yang kurang mampu  perlu dan sangat perlu diperhatikan baik segi finansialnya dan pelayanannya , karena banyak sekali kalangan kurang mampu membutuhkan perhatian kesehatan .
            Pernah mendengarkan perbedaan kasta blogger ? pasti sudah yak karena semasa bangku SD kita sudah diperkenalkan dengan kata itu heheh . bagaimana sih rasanya ketika kasta berlaku ? rasanya seperti dunia tidak adil,bukan? Seperti tidak dihargai , bukan ? begitulah, sometimes dunia terlihat dengan kastanya,ketika kita bertemu dengan mereka yg seperti mementingakn kasta tapi tenang saja blogger tidak semua manusia seperti itu hanya mereka yang tidak pernah melihat kebwah dan mereka yang terlalu menikmati dunia mereka saat ini tanpa memikirkan ketika mereka menjadi  orang lain yg merasakan hal yg mereka perlakukan , yah begitulah kira-kira .
            Ini tentang cerita dari salah satu sahabat saya , di salah satu rumah sakit ketika ada apoteker yang maggang disana , kasta antara dokter dengan tenaga kesehatan lainnya terlihat dengan jelas . bagaimanapun juga saya kurang tahu di rumah sakit yang lainnya tetapi banyak yg bercerita hal yg sama . jadi begini jika kalo kita lihat dari segi PNS bukankah sma pangkat antara dokter deng profesi apoteker ?  sma kan ? tapi tidak dengan perlakuan blogger … dokter terlihat lebih special disana tapi tidak dengan apotekernya .
Kalo kita mengacu pada good pharmacy practise, apoteker memang yang bertanggung jawab penuh dan memiliki wewenang dalam proses pembuatan atau peracikan obat, misal puyer, dan menjamin kualitas dan stabilitas bentuk sediaan sehingga aman dikonsumsi oleh pasien. Apoteker dalam prakteknya,haruslah melakukan screening resep terlebih dahulu,sebagai proses pengoreksian agar kemungkinan adanya ketidakrasionalan penggunaan,maupun interaksi obat dapat ditekan seminim mungkin.Bisa jadi dokter (yang dalam kasus ini hanya berwewenang mendiagnosis penyakit pasien dan MENULISKAN RESEP,bukan membuat/menyerahkan obat langsung pada pasien...) melakukan sedikit kesalahan...dan Apoteker mengoreksinya....bila memang dirasa salah (misal,dosis terlalu tinggi), apoteker dapat mengusulkan pada dokter dan bertanya,mengapa dosis yang ditulis dalam resep sekian...apa tidak terlalu tinggi...atau bagaimana...
Namun pada kenyataannya memang sering terjadi penyimpangan.. Baik dari apotekernya sendiri maupun dari dokternya. Apoteker tidak selalu berada di apotek. Dokter melakukan dispensing obat langsung kepada pasien meski ditengah kerumunan apotek. Ketidakhadiran apoteker di apotek menyebabkan tidak terselenggaranya good pharmacy practisesecara optimal dan dokter yang melakukan pekerjaan kefarmasian (dispensing) luput dari mekanisme kontrol yang seharusnya tidak boleh terlewatkan dalam proses pengobatan
 Sejak dulu,  Apoteker, atau Farmasis, memang dikenal sebagai pembuat obat di pabrik, atau penjual obat di apotek. Tapi sebenarnya, kebisaan apoteker tidak hanya itu. Bermula di negara maju seperti Amerika dan Inggris, pada dua dasawarsa teakhir, orientasi kegiatan farmasis/apoteker telah bergeser dari berorientasi produk menjadi berorientasi pasien. Artinya bahwa pelayanan farmasi tidak sebatas membuat atau menjual obat saja, tapi juga memastikan bahwa pasien menggunakan obatnya dengan tepat dan benar. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan informasi dan edukasi seluas-luasnya pada pasien dan masyarakat mengenai penggunaan obat yang benar. Informasi dan edukasi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bisa di apotek, rumah sakit, lewat media massa, atau cara apa saja. Sementara itu, di rumah sakit, mulai tampil apoteker dengan “wajah baru” yaitu sebagai farmasis klinik. Yakni, apoteker yang memiliki keahlian klinik dan terlibat dalam tim kesehatan di rumah sakit untuk memantau terapi dan pengobatan pasien, guna memastikan bahwa pasien mendapatkan pengobatan yang tepat, aman dari efek samping, dan ekonomis. Di Indonesia, profesi farmasis klinik mulai menggeliat, walau masih perlu meniti jalan panjang.

Untuk itu, apoteker perlu bisa bekerja sama dengan tenaga kesehatan yang lain, termasuk dengan dokter. Konsep kolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain relatif masih cukup baru bagi farmasi, dibanding bagi perawat misalnya, yang telah mengenal konsep tersebut sejak lama dan hal itu mudah ditemukan dalam berbagai literatur ilmu keperawatan. Tidak kurang di AS sendiri, hubungan antara dokter dan Apoteker belum mencapai taraf yang ideal. Usaha-usaha untuk menyakinkan dokter untuk memanfaatkan keahlian Apoteker dalam membantu memanage terapi pasien masih belum sepenuhnya berhasil. Tulisan ini mencoba menyoroti hubungan dokter-apoteker, yang mestinya jadi cs bukannya vs, kawan bukannya lawan.

Dalam sebuah publikasinya, McDonough dan Doucette (2001) mengusulkan satu model untuk Hubungan Kerja Kolaboratif antara Dokter dan Apoteker (Pharmacist-Phycisian Collaborative Working Relationship. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hubungan ini antara lain disebutkan:
a.    Karakteristik partisipan. Yang termasuk karakteristik partisipan adalah faktor demografi seperti pendidikan dan usia. Contohnya, dokter muda yang sejak awal dididik untuk dapat bekerja sama dalam tim interdisipliner mungkin akan lebih mudah menerima konsep hubungan dokter-Apoteker.
b.    Karakteristik konteks. Yang dimaksud adalah kondisi pasien, tipe praktek (apakah tunggal atau bersama), kedekatan jarak praktek, banyaknya interaksi, akan menentukan seberapa intensif hubungan yang akan terjalin.
c.    Karakteristik pertukaran. Yang termasuk di sini antara lain adalah: ketertarikan secara profesional, komunikasi yang terbuka dan dua arah, kerjasama yang seimbang, penilaian terhadap performance, konflik dan resolusinya. Semakin seimbang pertukaran antara kedua belah pihak, akan memungkinkan hubungan kolaboratif yang lebih baik.
Bagaimana memulai suatu hubungan kerjasama yang kolaboratif antara dokter dan Apoteker? Menurut McDonough dan Doucette (2001) ada 4 tahap stage hubungan.
Stage 0 : Professional awareness.
Ini adalah stage awal, di mana masing-masing profesi saling mengenal dan mengetahui. Hubungannya masih “alamiah”, hanya sebatas Apoteker menerima resep dari dokter, kemudian dispensing. Apoteker mengontak dokter jika terjadi hal-hal tidak jelas yang terkait dengan resep (dosis, nama obat, dsb), dan menjawab pertanyaan tentang infomasi obat. Tidak ada diskusi lebih lanjut apakah obat telah memberikan hasil optimal kepada pasien.
Mestinya Apoteker tidak boleh puas hanya dengan stage tersebut, walau dianggap lebih aman secara profesional. Apoteker perlu meningkatkan peranannya untuk mencapai pada stage 1.
Stage 1 : Professional recognition.
Pada awalnya, usaha untuk meningkatkan frekuensi dan kualitas hubungan dokter-Apoteker cenderung unilateral, dengan Apoteker yang harus memulai. Apoteker perlu berusaha untuk membuat dokter menjadi paham tentang apa-apa yang bisa “disumbangkan” Apoteker terhadap pelayanan pasien, misalnya menunjukkan keahliannya dalam memberikan informasi obat yang up to date, memberikan alternatif obat untuk kondisi-kondisi khusus pasien, dsb.  Dari situ dokter akan dapat membangun dasar kepercayaan dan menumbuhkan komitmen terhadap hubungan kerjasama dengan Apoteker.Pada stage ini, komunikasi sering merupakan tantangan tersendiri. Jangan sampai terjadi miskomunikasi bahwa seolah-olah Apoteker akan “mengintervensi” wewenang dokter dalam memilih obat atau akan menjadi “polisi” yang akan mengawasi pengobatan oleh dokter. Justru perlu ditekankan bahwa Apoteker adalah mitra yang akan membantu dokter sesuai dengan kewenangannya, demi tercapainya pengobatan pasien yang optimal.
Pada stage ini dapat dirumuskan mengenai bentuk kerjasama, bagaimana cara komunikasinya, bagaimana protokolnya, dan dibuat suatu kesepakatan.
Stage 2: exploration and trial.
Setelah hubungan kerjasama disepakati untuk berlanjut, masuklah pada stage ke 2. Pada stage ini partisipan (dokter dan Apoteker) akan menguji kekompakan, harapan, kepercayaan dan komitmen mereka terhadap hubungan kerjasama. Dokter mungkin akan memutuskan untuk merujuk pasien ke Apoteker untuk hal-hal yang terkait dengan obat, misalnya penyesuaian dosis dan konseling obat, dan mengevaluasi kompetensi Apoteker untuk memutuskan apakah kerjasama ini cukup bermanfaat dan dapat dilanjutkan. Sebaliknya Apoteker juga dapat menilai apakah dokter tersebut dapat diajak bekerja sama yang positif.Pada fase ini, jika harapan dokter terhadap Apoteker terpenuhi, dokter akan memberikan kepercayaan kepada Apoteker untuk meneruskan kerjasama untuk bersama-sama memberikan pelayanan yang terbaik pada pasien. Sebaliknya jika ternyata harapan masing-masing tidak terpenuhi dari adanya hubungan ini, maka hubungan kerjasama mungkin akan berakhir.
Jika dokter dan Apoteker telah melihat dan mendapatkan manfaat kerjasama mereka dari stage exploration and trial, maka mereka dapat meningkatkan dan memperluas kerjasama profesional tersebut dan sampai ke stage 3.
Stage 3: professional relationship expansion.
Pada stage ini kuncinya adalah komunikasi, pengembangan norma/aturan yang disepakati, penilaian performance, dan resolusi konflik. Pada fase ini the exchange efforts masih belum seimbang, dengan Apoteker perlu secara kontinyu mengkomunikasikan mengenai manfaat bagi pasien yang mendapat pelayanan farmasi yang tepat. Jika performance Apoteker sesuai dengan ekspektasi dokter, dokter dan Apoteker secara pelan-pelan akan memantapkan lingkup dan kedalaman saling ketergantungan (interdependence) mereka. Tujuannya adalah memelihara atau meningkatkan kualitas pertukaran sehingga hubungan profesional dapat terus dikembangkan
Stage 4: commitment to the collaborative working relationship.
Kolaborasi akan semakin mungkin terwujud jika dokter telah melihat bahwa dengan adanya kerjasama dengan Apoteker resiko praktek pelayanannya menjadi lebih kecil, dan banyak nilai tambah yang diperoleh dari kepuasan pasien. Komitmen akan lebih mungkin tercapai jika usaha dan keinginan bekerjasama dari masing-masing pihak relatif sama. Dokter akan mengandalkan pengetahuan dan keahlian Apoteker mengenai obat-obatan, sementara Apoteker akan bersandar pada informasi klinis yang diberikan oleh dokter ketika akan membantu memanage terapi pasien. Pada stage ini pertemuan tatap muka untuk mendiskusikan masalah pasien, masalah-masalah pelayanan, dan hal-hal lain harus dijadwalkan, dan bisa dikembangkan bersama tenaga kesehatan yang lain. Selain itu adanya komitmen kerjasama ini perlu diinformasikan kepada tenaga kesehatan yang lain sehingga mereka dapat turut terlibat di dalamnya.

Demikian model kolaborasi antar tenaga kesehatan, khususnya antara dokter dan Apoteker. Tentunya masih diperlukan waktu untuk bisa sampai pada tingkat yang diiinginkan. Bagi Apoteker sendiri perlu selalu meningkatkan pengetahuan dan keahlian, meng-update diri  terhadap informasi-informasi kesehatan yang sangat cepat berkembang, sehingga mendapat kepercayaan dari tenaga kesehatan lain sebagai tenaga yang berkompeten dalam hal obat dan pengobatan.

" DEMI KEMAJUAN KESEHATAN DUNIA "INDONESIA" , HILNGKANLAH KEEGOISAN KEMBALIKAN HATI NURANI REZEKI TELAH DI ATUR YANG DIATAS . KITA ? IYA KITA CALON ATAU SUDAH JADI TENAGA KESEHATAN UNTUK ABDI NEGARA  . WE ARE PARTNER NOT VS ! "

1 komentar:

  1. Nanti kita buat regulasi yang jelas tentang kedua profesi ni ding, sehingga ada batasan dan wewenang diantara keduanya, hehehe...

    BalasHapus

Love is...
© DUNIAKU JIWAKU - Template by Anita Surya Ningrum