Jumat, 21 September 2012

"Dokter , Apoteker" ( ? )

            Hai sahabat blogger… kali ini entah mengapa saya ingin mencoba menulis tentang Dokter dan Apoteker dlam tanda kutinya “ Cs atau Vs “ ini karena kemarin salah satu sahabat saya menceritakan salah seorang kakak angkatan yang lagi magang di salah satu rumah sakit DIY selain itu saya sangat inspiratif sekali dengan tulisan dosen farmasi perguruan tinggi di Yogyakarta juga . Okelah mari kita mulai ya .. heheh (kayak mau lari sprint ajah )
            Kemarin eh lebih tepatnya beberapa hari yang lalu , sahabat saya menceritakan kaka angkatan yang magang di rumah sakit sebagai profesi apoteker mengalami banyak kejanggalan ( ups kayak dunia lain aja ) maksudnya itu kejanggalan dalam hal kefarmasian baik itu tentang penempatan obat dengan perbedaan kasta antar apoteker dan dokter . sebelum lebih jauh kalian membaca , ini adalh sebuah karya inspiratif saya jika ad kritik dan saran silakan leaving your coment guys :') jika ada yang salah akan rangkaikan kata serta kalimat yg tidak mengenakan hati kalian mohon maaf (karena saya manusia biasa dan msih tahapan belajar dan akan selalu belajar "lebay dikit " kekekek ) dan selamat menikmati sebuah rangkaian kata mahasiswa smester 3 heheh :')

            Siapa sih yang nggak tau kalo dokter dari dulu sampai sekarang masih dinilai istimewa , iya memang profesi yang istimewa dan profesi yang mulia juga . Dokter itu bagi saya dan mungkin yang lain menggangpnya sangatlah mulia sekali ,bisa membantu mengobati orang yang lagi sakit kan ? tapi sayang sekarang banyak dokter yang mengejar materi , nggak salah juga sih sekarang biaya pendidikan dokter itu sangat tinggi blogger , banyak sekali rincian biaya mereka sekolah dikarenakan itu juga bisa dikatakn mengejar “ balik modal “ istilahnya begitu . Kesehatan memang mahal tapi issue yang banyak sekarang dokter yang buka praktek sendiri tanpa berkerja sma dengan apoteker/apotek atau istilah lainya itu memberikan resep obat langsung di “TKP” dan banyak sekali dokter yang langsung bekerja sma dengan produk obatnya langsung dengan imbalan jika dokter trsebut memakai produk mereka . ketika mencapai omset pemakaian akan diberikan imbalan seperti liburan keluar negeri dan macem-macem lagi deh ,nah itu sih issue-issue yang sekarag lagi naik daun . jikalau produk tersebut tidak cocok dengan pasien , apakah tega seorang dokter hanya memikirkan keegoisan akan kebhagian atau kesuksesannya saja ?  apakah produk itu tetap akan diberikan demi hadiah-hadiah yg dijanjikan ? bukankah itu dokter yg tidak punya hati nuraninya sebagi dokter  yang sesunguhnya ?  memang sih yah pemberian obat di tempat praktek langsung itu diperbolehkan tapi jika itu jauh dari keberadaan apotek atau memang berada ditempat terpencil tau keadaan yg mendesak .
            Okey blogger tidak semua dokter seperti itu , pasti dan saya sangat yakin msih ada dokter yang selalu memikirkan pasiennya dari beberapa kalangan , karena ketika pasien yang berasal dari kalangan yang kurang mampu  perlu dan sangat perlu diperhatikan baik segi finansialnya dan pelayanannya , karena banyak sekali kalangan kurang mampu membutuhkan perhatian kesehatan .
            Pernah mendengarkan perbedaan kasta blogger ? pasti sudah yak karena semasa bangku SD kita sudah diperkenalkan dengan kata itu heheh . bagaimana sih rasanya ketika kasta berlaku ? rasanya seperti dunia tidak adil,bukan? Seperti tidak dihargai , bukan ? begitulah, sometimes dunia terlihat dengan kastanya,ketika kita bertemu dengan mereka yg seperti mementingakn kasta tapi tenang saja blogger tidak semua manusia seperti itu hanya mereka yang tidak pernah melihat kebwah dan mereka yang terlalu menikmati dunia mereka saat ini tanpa memikirkan ketika mereka menjadi  orang lain yg merasakan hal yg mereka perlakukan , yah begitulah kira-kira .
            Ini tentang cerita dari salah satu sahabat saya , di salah satu rumah sakit ketika ada apoteker yang maggang disana , kasta antara dokter dengan tenaga kesehatan lainnya terlihat dengan jelas . bagaimanapun juga saya kurang tahu di rumah sakit yang lainnya tetapi banyak yg bercerita hal yg sama . jadi begini jika kalo kita lihat dari segi PNS bukankah sma pangkat antara dokter deng profesi apoteker ?  sma kan ? tapi tidak dengan perlakuan blogger … dokter terlihat lebih special disana tapi tidak dengan apotekernya .
Kalo kita mengacu pada good pharmacy practise, apoteker memang yang bertanggung jawab penuh dan memiliki wewenang dalam proses pembuatan atau peracikan obat, misal puyer, dan menjamin kualitas dan stabilitas bentuk sediaan sehingga aman dikonsumsi oleh pasien. Apoteker dalam prakteknya,haruslah melakukan screening resep terlebih dahulu,sebagai proses pengoreksian agar kemungkinan adanya ketidakrasionalan penggunaan,maupun interaksi obat dapat ditekan seminim mungkin.Bisa jadi dokter (yang dalam kasus ini hanya berwewenang mendiagnosis penyakit pasien dan MENULISKAN RESEP,bukan membuat/menyerahkan obat langsung pada pasien...) melakukan sedikit kesalahan...dan Apoteker mengoreksinya....bila memang dirasa salah (misal,dosis terlalu tinggi), apoteker dapat mengusulkan pada dokter dan bertanya,mengapa dosis yang ditulis dalam resep sekian...apa tidak terlalu tinggi...atau bagaimana...
Namun pada kenyataannya memang sering terjadi penyimpangan.. Baik dari apotekernya sendiri maupun dari dokternya. Apoteker tidak selalu berada di apotek. Dokter melakukan dispensing obat langsung kepada pasien meski ditengah kerumunan apotek. Ketidakhadiran apoteker di apotek menyebabkan tidak terselenggaranya good pharmacy practisesecara optimal dan dokter yang melakukan pekerjaan kefarmasian (dispensing) luput dari mekanisme kontrol yang seharusnya tidak boleh terlewatkan dalam proses pengobatan
 Sejak dulu,  Apoteker, atau Farmasis, memang dikenal sebagai pembuat obat di pabrik, atau penjual obat di apotek. Tapi sebenarnya, kebisaan apoteker tidak hanya itu. Bermula di negara maju seperti Amerika dan Inggris, pada dua dasawarsa teakhir, orientasi kegiatan farmasis/apoteker telah bergeser dari berorientasi produk menjadi berorientasi pasien. Artinya bahwa pelayanan farmasi tidak sebatas membuat atau menjual obat saja, tapi juga memastikan bahwa pasien menggunakan obatnya dengan tepat dan benar. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan informasi dan edukasi seluas-luasnya pada pasien dan masyarakat mengenai penggunaan obat yang benar. Informasi dan edukasi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bisa di apotek, rumah sakit, lewat media massa, atau cara apa saja. Sementara itu, di rumah sakit, mulai tampil apoteker dengan “wajah baru” yaitu sebagai farmasis klinik. Yakni, apoteker yang memiliki keahlian klinik dan terlibat dalam tim kesehatan di rumah sakit untuk memantau terapi dan pengobatan pasien, guna memastikan bahwa pasien mendapatkan pengobatan yang tepat, aman dari efek samping, dan ekonomis. Di Indonesia, profesi farmasis klinik mulai menggeliat, walau masih perlu meniti jalan panjang.

Untuk itu, apoteker perlu bisa bekerja sama dengan tenaga kesehatan yang lain, termasuk dengan dokter. Konsep kolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain relatif masih cukup baru bagi farmasi, dibanding bagi perawat misalnya, yang telah mengenal konsep tersebut sejak lama dan hal itu mudah ditemukan dalam berbagai literatur ilmu keperawatan. Tidak kurang di AS sendiri, hubungan antara dokter dan Apoteker belum mencapai taraf yang ideal. Usaha-usaha untuk menyakinkan dokter untuk memanfaatkan keahlian Apoteker dalam membantu memanage terapi pasien masih belum sepenuhnya berhasil. Tulisan ini mencoba menyoroti hubungan dokter-apoteker, yang mestinya jadi cs bukannya vs, kawan bukannya lawan.

Dalam sebuah publikasinya, McDonough dan Doucette (2001) mengusulkan satu model untuk Hubungan Kerja Kolaboratif antara Dokter dan Apoteker (Pharmacist-Phycisian Collaborative Working Relationship. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hubungan ini antara lain disebutkan:
a.    Karakteristik partisipan. Yang termasuk karakteristik partisipan adalah faktor demografi seperti pendidikan dan usia. Contohnya, dokter muda yang sejak awal dididik untuk dapat bekerja sama dalam tim interdisipliner mungkin akan lebih mudah menerima konsep hubungan dokter-Apoteker.
b.    Karakteristik konteks. Yang dimaksud adalah kondisi pasien, tipe praktek (apakah tunggal atau bersama), kedekatan jarak praktek, banyaknya interaksi, akan menentukan seberapa intensif hubungan yang akan terjalin.
c.    Karakteristik pertukaran. Yang termasuk di sini antara lain adalah: ketertarikan secara profesional, komunikasi yang terbuka dan dua arah, kerjasama yang seimbang, penilaian terhadap performance, konflik dan resolusinya. Semakin seimbang pertukaran antara kedua belah pihak, akan memungkinkan hubungan kolaboratif yang lebih baik.
Bagaimana memulai suatu hubungan kerjasama yang kolaboratif antara dokter dan Apoteker? Menurut McDonough dan Doucette (2001) ada 4 tahap stage hubungan.
Stage 0 : Professional awareness.
Ini adalah stage awal, di mana masing-masing profesi saling mengenal dan mengetahui. Hubungannya masih “alamiah”, hanya sebatas Apoteker menerima resep dari dokter, kemudian dispensing. Apoteker mengontak dokter jika terjadi hal-hal tidak jelas yang terkait dengan resep (dosis, nama obat, dsb), dan menjawab pertanyaan tentang infomasi obat. Tidak ada diskusi lebih lanjut apakah obat telah memberikan hasil optimal kepada pasien.
Mestinya Apoteker tidak boleh puas hanya dengan stage tersebut, walau dianggap lebih aman secara profesional. Apoteker perlu meningkatkan peranannya untuk mencapai pada stage 1.
Stage 1 : Professional recognition.
Pada awalnya, usaha untuk meningkatkan frekuensi dan kualitas hubungan dokter-Apoteker cenderung unilateral, dengan Apoteker yang harus memulai. Apoteker perlu berusaha untuk membuat dokter menjadi paham tentang apa-apa yang bisa “disumbangkan” Apoteker terhadap pelayanan pasien, misalnya menunjukkan keahliannya dalam memberikan informasi obat yang up to date, memberikan alternatif obat untuk kondisi-kondisi khusus pasien, dsb.  Dari situ dokter akan dapat membangun dasar kepercayaan dan menumbuhkan komitmen terhadap hubungan kerjasama dengan Apoteker.Pada stage ini, komunikasi sering merupakan tantangan tersendiri. Jangan sampai terjadi miskomunikasi bahwa seolah-olah Apoteker akan “mengintervensi” wewenang dokter dalam memilih obat atau akan menjadi “polisi” yang akan mengawasi pengobatan oleh dokter. Justru perlu ditekankan bahwa Apoteker adalah mitra yang akan membantu dokter sesuai dengan kewenangannya, demi tercapainya pengobatan pasien yang optimal.
Pada stage ini dapat dirumuskan mengenai bentuk kerjasama, bagaimana cara komunikasinya, bagaimana protokolnya, dan dibuat suatu kesepakatan.
Stage 2: exploration and trial.
Setelah hubungan kerjasama disepakati untuk berlanjut, masuklah pada stage ke 2. Pada stage ini partisipan (dokter dan Apoteker) akan menguji kekompakan, harapan, kepercayaan dan komitmen mereka terhadap hubungan kerjasama. Dokter mungkin akan memutuskan untuk merujuk pasien ke Apoteker untuk hal-hal yang terkait dengan obat, misalnya penyesuaian dosis dan konseling obat, dan mengevaluasi kompetensi Apoteker untuk memutuskan apakah kerjasama ini cukup bermanfaat dan dapat dilanjutkan. Sebaliknya Apoteker juga dapat menilai apakah dokter tersebut dapat diajak bekerja sama yang positif.Pada fase ini, jika harapan dokter terhadap Apoteker terpenuhi, dokter akan memberikan kepercayaan kepada Apoteker untuk meneruskan kerjasama untuk bersama-sama memberikan pelayanan yang terbaik pada pasien. Sebaliknya jika ternyata harapan masing-masing tidak terpenuhi dari adanya hubungan ini, maka hubungan kerjasama mungkin akan berakhir.
Jika dokter dan Apoteker telah melihat dan mendapatkan manfaat kerjasama mereka dari stage exploration and trial, maka mereka dapat meningkatkan dan memperluas kerjasama profesional tersebut dan sampai ke stage 3.
Stage 3: professional relationship expansion.
Pada stage ini kuncinya adalah komunikasi, pengembangan norma/aturan yang disepakati, penilaian performance, dan resolusi konflik. Pada fase ini the exchange efforts masih belum seimbang, dengan Apoteker perlu secara kontinyu mengkomunikasikan mengenai manfaat bagi pasien yang mendapat pelayanan farmasi yang tepat. Jika performance Apoteker sesuai dengan ekspektasi dokter, dokter dan Apoteker secara pelan-pelan akan memantapkan lingkup dan kedalaman saling ketergantungan (interdependence) mereka. Tujuannya adalah memelihara atau meningkatkan kualitas pertukaran sehingga hubungan profesional dapat terus dikembangkan
Stage 4: commitment to the collaborative working relationship.
Kolaborasi akan semakin mungkin terwujud jika dokter telah melihat bahwa dengan adanya kerjasama dengan Apoteker resiko praktek pelayanannya menjadi lebih kecil, dan banyak nilai tambah yang diperoleh dari kepuasan pasien. Komitmen akan lebih mungkin tercapai jika usaha dan keinginan bekerjasama dari masing-masing pihak relatif sama. Dokter akan mengandalkan pengetahuan dan keahlian Apoteker mengenai obat-obatan, sementara Apoteker akan bersandar pada informasi klinis yang diberikan oleh dokter ketika akan membantu memanage terapi pasien. Pada stage ini pertemuan tatap muka untuk mendiskusikan masalah pasien, masalah-masalah pelayanan, dan hal-hal lain harus dijadwalkan, dan bisa dikembangkan bersama tenaga kesehatan yang lain. Selain itu adanya komitmen kerjasama ini perlu diinformasikan kepada tenaga kesehatan yang lain sehingga mereka dapat turut terlibat di dalamnya.

Demikian model kolaborasi antar tenaga kesehatan, khususnya antara dokter dan Apoteker. Tentunya masih diperlukan waktu untuk bisa sampai pada tingkat yang diiinginkan. Bagi Apoteker sendiri perlu selalu meningkatkan pengetahuan dan keahlian, meng-update diri  terhadap informasi-informasi kesehatan yang sangat cepat berkembang, sehingga mendapat kepercayaan dari tenaga kesehatan lain sebagai tenaga yang berkompeten dalam hal obat dan pengobatan.

" DEMI KEMAJUAN KESEHATAN DUNIA "INDONESIA" , HILNGKANLAH KEEGOISAN KEMBALIKAN HATI NURANI REZEKI TELAH DI ATUR YANG DIATAS . KITA ? IYA KITA CALON ATAU SUDAH JADI TENAGA KESEHATAN UNTUK ABDI NEGARA  . WE ARE PARTNER NOT VS ! "

Minggu, 22 Juli 2012

COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease)

COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) merupakan penyakit pada paru-paru dimana saluran udara terhambat dan menyebabkan Anda kesulitan bernapas. Emfisema dan bronkitis asma kronis adalah dua kondisi utama yang dapat menyebabkan COPD. Kerusakan pada saluran udara tersebut mengganggu pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam paru-paru.


COPD kebanyakan disebabkan oleh kebiasaan merokok yang telah terjadi dalam jangka waktu yang lama. Penyakit ini dapat dicegah dengan tidak merokok atau berhenti merokok sesegera mungkin. Kerusakan pada paru-paru ini tidak dapat disembuhkan, sehingga pengobatan berfokus pada pengendalian gejala dan meminimalkan kerusakan lebih lanjut. COPD terutama mengacu pada obstruksi di paru-paru yang disebabkan oleh bronkitis asma kronis dan emfisema.


Secara umum, gejala COPD tidak muncul sampai kerusakan paru-paru yang signifikan telah terjadi, dan penyakit ini dapat memburuk dari waktu ke waktu. Tanda dan gejala COPD dapat bervariasi, tetapi kebanyakan orang mengalami gejala seperti ini: 1. Sesak napas 2. Mendesah 3. Dada sesak 4. Batuk kronis


Tidak ada obat untuk COPD dan Anda tidak dapat memperbaiki kerusakan pada paru-paru. Namun terapi dapat mengendalikan gejala COPD dan mengurangi risiko komplikasi. Dokter mungkin akan menyarankan Anda mengambil obat untuk mengobati gejala dan komplikasi dari COPD. Anda dapat mengambil beberapa obat seperti Bronkodilator, inhaler Steroid dan antibiotik. Sumber: MayoClinic



Bentuk Darah Manusia Ketika Sedang Berdoa, Sedih, Jatuh Cinta dan Takut


Sebuah penelitian dilakukan oleh pakar EFT untuk menunjukkan bagaimana kondisi darah manusia disaat normal, sedih, gembira, jatuh cinta dan saat berdoa. EFT itu sendiri apa sih??? Untuk lebih jelasnya silahkan baca disini. Oke, kita lanjutkan saja. Pakar EFT tersebut mengambil sampel darah seorang pasien (Rebecca) kemudian memotretnya dengan menggunakan “darkfield microscope” yang dihubungkan dengan monitor komputer. Dan tampaklah perubahan drastis pada darah Rebecca tersebut setiap kali emosinya berubah. Berikut ini adalah foto darah seorang Rebecca sebelum dan sesudah melakukan EFT.

Sebelum melakukan EFT
( sel darah merah menggumpal disebabkan oleh Lectin yang didapat dari alergi ayam & alpukat )
Sesudah melakukan EFT
( sel darah merah menjadi normal kembali )

Kemudian Rebecca melakukan EFT lagi dan mengundang emosi “sedih” dengan cara memikirkan saat-saat sedih sampai dia menangis, lalu sang pakar EFT ( Dr. Felicy) mengambil sampel darahnya lagi.

Kondisi darah saat sedih ( sel darah begerak cepat dan berbentuk air mata )

Lalu Rebecca menggunakan EFT untuk mengundang energi “cinta” untuk memasuki tubuh dan darahnya. Dan seketika darahnya kembali normal, dan sel-sel darah bergerak dengan indah dan timbul substansi yang berkilauan dalam cairan darah.

Kondisi darah saat merasakan cinta :
( sel darah bergerak pelan dan cenderung berkumpul )

Satu kenyataan menarik pada sampel darah saat “sedih” terjadi perubahan seperti pada sampel darah saat “merasakan cinta”. Jadi walaupun darah itu sudah meninggalkan tubuh Rebecca ia tetap masih berhubungan dengan pemiliknya.
Kemudian seorang Rebecca mengundang rasa takut dan memikirkan kejadian menakutkan yang pernah ia alami. Dan sel-sel dalam darahnya bergerak tidak beraturan dengan sangat cepat (ditunjukkan pada gambar dibawah dimana terlihat sel-sel darah saling berjatuhan). Mungkin ini adalah akibat dari produksi adrenalin sebagai reaksi normal atas rasa takut.
Kondisi darah saat merasa takut

Lalu Rebecca mecoba untuk memikirkan “sifat feminine Tuhan”. Dalam keyakinan agamanya ia sebut “divine mother”, sifat penyayang, penyantun dan pemelihara ( dalam islam disebut sifat “Jamaliah” Allah). Dan memohon kepada-Nya untuk menyalurkan energi feminine itu kedalam tubuh dan darahnya. Saat berdoa tersebut, Rebecca merasakan seperti ini “saya merasakan gelombang energi yang begitu besarnya menyelimuti diri saya, saya sampai menangis bahagia karenanya”, begitu Rebecca tersebut menggambarkan pengalamannya.

Saat sampel darah Rebecca diambil setelah berdoa dan merasakan pengalaman religius itu, kemudian dilihatkan dibawah mikroskop yang dihubungkan dengan komputer, semua yang hadir dilaboratorium itu seketika terdiam dan terpana karena melihat komdisi darah yang sama sekali berbeda dengan yang lain, cairah darahnya sangat cerah, gerakan sel darah sangat tenang seakan bergerak dengan penuh kedamaian, muncul banyak substansi yang berkilauan. Di dalam sel darah terdapat substansi yang bercahaya dan berdenyut seperti denyutan jantung mini.

Kondisi darah saat “berdo’a”
(timbul substansi putih berkilauan dan darah bergerak pelan dan sangat teratur)


Rabu, 13 Juni 2012

Pengolahan Jeruk yang tidak tepat mengakibatkan hilangnya kandungan Vitamin C


Saat anda memikirkan minuman yang segar, apa yang anda pikirkan?? Adakah diantara anda yang berpikir jus jeruk?? Yaaa … jus jeruk merupakan minuman yang identik dengan kesegarannya. Banyak orang yang menyukai jus jeruk karena selain rasanya yang segar, jus jeruk juga kaya akan vitamin C. Tapi tak selamanya yang segar itu menjanjikan kawan, banyak jus jeruk yang tidak mengandung vitamin C.
Benarkah itu?? Bukankah jus jeruk kaya akan vitamin C?? Iya, memang benar jus jeruk mengandung vitamin C, tetapi pengolahan dapat menghilangkan vitamin C yang terkandung dalam jus jeruk.
Pernahkah anda melihat seorang penjual jus yang memblender jus jeruk dalam waktu yang lama?? Ataukah anda sendiri yang melakukannya?? Hal inilah salah satu tindakan yang menjadikan jus jeruk tidak memgandung vitamin C.
Vitamin C merupakan vitamin yang banyak terkandung dalam jeruk. Vitamin C sangat diperlukan oleh tubuh, diantara fungsi vitamin C adalah :
  1. Pembentukan kolagen dalam jaringan pengikat. Kolagen adalah protein yang merupakan komponen semua jaringan pengikat dan juga merupakan komponen  utama kulit, tulang rawan, gigi, dan jaringan bekas luka serta melengkapi struktur kerangka tulang.
  1. Pembentukan gigi. Kualitas struktur gigi tergantung pada status vitamin C pada periode pembentukan gigi.
  2. Metabolisme tirosin. Dikarenakan tirosin adalah prekusor tiroksin (hormon kelenjar gondok/tiroid), maka vitamin C secara tidak langsung tersangkut pada fungsi kelenjar gondok.
  3. Sintesis neurotransmitters. Neurotransmitters diperlukan untuk transfer impuls syaraf dari satu sel ke sel lainnya.
  4. Memudahkan penyerapan besi (Fe) dalam usus, membantu transfer Fe dari darah ke hati,
  5. Membantu penyerapan kalsium (Ca) dengan cara mencegah terbentuknya kompleks Ca dengan senyawa lain yang bersifat tidak larut dan sulit untuk diserap oleh usus.
  6. Vitamin C mengkatalisis perubahan folasin (asam folat) inaktif menjadi bentuk aktifnya. Karena asam folat berfungsi antara lain untuk mencegah timbulnya anemia (menormalkan proses pembelahan sel darah merah), maka vitamin C efektif dalam mencegah timbulnya anemia pada bayi.


 
Manfaat-manfaat ini tidak akan kita dapatkan jika pengolahan yang dilakukan salah. Vitamin C memiliki karakteristik tidak tahan panas. Vitamin C akan rusak jika pemanasan yang dilakukan terlalu berlebihan. Pembuatan jus jeruk dengan menggunakan blender cenderung sering menghilangkan vitamin C nya karena secara kasat mata kita tidak tahu sampai mana ambang aman vitamin C tetap terkandung dalam jus jeruk. Jadi lebih aman membuat jus jeruk tanpa di blender.
Selain pemanasan dengan blender, vitamin C pada jeruk juga sering hilang karena jeruk diseduh dengan air panas atau yang sering disebut dengan jeruk panas. Memang jeruk panas sangat enak. Selain menyegarkan, jeruk panas juga menghangatkan tubuh yang cocok diminum saat suasana dingin.
Jika anda hanya menginginkan kenikmatan, maka sah-sah saja anda mengonsumsi ini. Hal ini berarti anda hanya mengonsumsi sari jeruk tanpa vitamin C. Tapi jika anda menginginkan manfaatnya, maka hindarilah jus jeruk dengan proses blender yang lama dan jeruk panas karena vitamin C nya banyak terbuang. Anda bisa tetap menikmati jus jeruk dengan memerasnya dan mencampurnya dengan air dingin. Cara ini lebih aman dalam menjaga kandungan vitamin C dalam jus jeruk.
Hal ini bukan hanya berlaku untuk jus jeruk, tetapi untuk semua bahan pangan yang mengandung vitaim C. Sebab vitamin C dalam semua bahan pangan sangat rawan kerusakan akibat panas.

Ketepatan Pemakain Antibiotik


         Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam prosesinfeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desifektan membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman untuk hidup. Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun seperti strychnine, antibiotika dijuluki "peluru ajaib": obat yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan Setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.
       Antibiotika oral (yang dimakan) mudah digunakan bila efektif, dan antibiotika intravena (melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius. Antibiotika kadangkala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep.

Contoh antibiotika Amoxicilin, Ciprofloxacin, Choramphenicol, Cotrimoxazol dan Tetraciclin.Efek samping antibiotic: Resistensi bakteri (bakteri menjadi kebal), supra infeksi, mual, muntah, diare, gigi kuning/rusak dan gangguan kulit







Waspada
- Ibu hamil dan menyusui
- Bayi/balita
- Pasien gagal ginjal
- Pasien gagal hati

kesesuaian pada aturan obat / resep dokter



  1. Gunakan hanya dengan rekomendasi dari dokter Anda. Jangan pernah minum antibiotik apapun yang ditentukan  oleh orang lain, atau yang Anda tentukan untuk mengobati penyakit yang berbeda karena Antibiotik banyak jenis dan harus digunakan pada penyakit yang tepat
  2. Jika dokter Anda mengatakan Anda terkena virus,  Anda sebaiknya tidak meminta antibiotik.
  3. Minum antibiotik Anda hanya sesuai dengan resep dokter, dan habiskan walaupun anda sudah sembuh ini untuk memastikan bakteri yg memacu penyakit anda benar-benar mati . jika tidak dihabiskan akan menyebabkan resistensi bakteri trhadap obat antibiotik yg dipakai sehingga memacu untuk meningkatkan dosis dan akan berdampak bahaya terhadap sel dan organ dalam tubuh anda .

Seperti Apakah Penggunaan Antibiotik yang Tidak Tepat?
Pemakaian antibiotik yang tidak berdasarkan ketentuan (petunjuk dokter) menyebabkan tidak efektifnya obat tersebut sehingga kemampuan membunuh kuman berkurang atau bahkan menimbulkan resistensi. Ketidaktepatan penggunaan antibiotik terjadi dalam situasi klinis yang sangat bervariasi, meliputi :
  • Pemberian antibiotik pada keadaan tanpa adanya infeksi bakteri.
  • Pemilihan antibiotik yang salah atau tidak sesuai diagnosis.
  • Dosis yang tidak tepat atau berlebihan.
  • Lama penggunaan antibiotik yang tidak tepat.
  • Penggunaan obat antibiotik suntik yang berlebihan pada penyakit yang dapat disembuhkan dengan obat yang ditelan (oral).
  • Pengobatan sendiri oleh pasien dengan cara mengonsumsi antibiotik yang seharusnya diresepkan oleh dokter.
  • Penggunaan antibiotik berlebih untuk profilaksis (pencegahan) pada pembedahan bersih, khususnya pemberian antibiotik yang berlangsung lebih lama dari waktu yang direkomendasikan (kurang dari 24 jam pasca operasi).
Keadaan ini antara lain disebabkan oleh berbagai faktor seperti pengetahuan dokter yang kurang, pengalaman masa lalu atau contoh dari kolega senior, harapan dan permintaan pasien, promosi industri farmasi, dan mudahnya pasien membeli antibiotik tanpa resep dokter.
Bahaya Penggunaan Antibiotik yang Tidak Tepat
Penggunaan antibiotik pada anak memerlukan perhatian khusus. Mengapa demikian? Bayi dan anak berisiko paling sering mendapatkan antibiotik, karena daya tahan tubuhnya yang lebih rentan sehingga lebih sering sakit. Padahal, seperti halnya obat pada umumnya, antibiotik memiliki efek samping yang bisa muncul jika penggunaannya tidak tepat.
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan antibiotik adalah gangguan beberapa organ tubuh. Terlebih lagi bila diberikan kepada bayi dan anak-anak, karena sistem tubuh dan fungsi organ pada bayi dan anak-anak masih belum tumbuh sempurna. Gangguan organ tubuh yang bisa terjadi adalah gangguan saluran cerna, gangguan ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan sumsum tulang, gangguan darah dan sebagainya.
Akibat lainnya adalah reaksi alergi karena obat. Gangguan tersebut mulai dari yang ringan seperti ruam, gatal sampai dengan yang berat seperti pembengkakan bibir atau kelopak mata, sesak, hingga dapat mengancam jiwa atau reaksi anafilaksis.
Pemakaian antibiotik berlebihan atau irasional juga dapat membunuh kuman yang baik dan berguna yang ada didalam tubuh kita. Sehingga tempat yang semula ditempati oleh bakteri baik ini akan diisi oleh bakteri jahat atau oleh jamur atau disebut “superinfection”. Pemberian antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman yang resisten atau disebut “superbugs”.
Penggunaan antibiotik yang irasional menyebabkan bakteri yang awalnya dapat diobati dengan mudah menggunakan jenis antibiotik ringan akan bermutasi dan menjadi kebal, sehingga memerlukan jenis antibiotik yang lebih kuat. Bila bakteri ini menyebar ke lingkungan sekitar, suatu saat akan tercipta kondisi dimana tidak ada lagi jenis antibiotik yang dapat membunuh bakteri yang terus menerus bermutasi ini.
Makin Dini, Makin Berisiko
Sebagian besar kasus penyakit infeksi pada anak disebabkan oleh virus. Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk “self limiting disease” atau penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5 sampai 7 hari (dengan ijin Allah -red). Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas disebabkan oleh virus. Secara umum, setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus.
Sebuah publikasi dalam Journal Watch Pediatrics and Adolescent Medicine tanggal 18 Juli 2007 melaporkan suatu hasil penelitian “population based”, dimana dilakukan penelitian longitudinal yang terhadap 13.116 anak di Kanada yang lahir pada tahun 1995 dan mendapat pengobatan dengan antibiotik dalam tahun pertama kehidupan untuk mempelajari faktor-faktor resiko terjadinya asma pada anak. Anak yang didiagnosis menderita asma dalam tahun pertama kehidupan dikeluarkan dari penelitian. Ternyata 65 % anak mendapat antibiotik dan terbanyak adalah antibiotik berspektrum luas.
Anak yang mendapat antibiotik untuk penyakit infeksi bukan saluran nafas ternyata mempunyai resiko menderita asma dua kali lebih besar pada usia 7 tahun dibandingkan yang tidak mendapat antibiotik.
Penelitian ini mengkonfirmasikan hasil penelitian sebelumnya bahwa penggunaan antibiotik yang terlalu dini pada anak (usia kurang dari 1 tahun) terutama antibiotik yang berspektrum luas, meningkatkan resiko terjadinya asma pada anak. Sehingga dianjurkan untuk tidak memberi antibiotik terutama yang bersektrum luas kepada anak usia kurang dari 1 tahun apabila tidak sangat diperlukan.
Kapan Anak Memerlukan Antibiotik?
Indikasi yang tepat dan benar dalam penggunaan antibiotik pada anak adalah bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention), indikasi pemberian antibiotik adalah :
  • Batuk dan pilek yang terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari) yang berkelanjutan selama lebih dari 10-14 hari dan disertai dengan cairan hidung mukopurulen (kuning atau hijau). Bila batuk dan pilek yang berkelanjutan terjadi hanya pada malam hari dan pagi hari (bukan sepanjang hari) biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi, sehingga tidak perlu antibiotik.
  • Bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39° C dengan cairan hidung purulen (kental), nyeri, bengkak di sekitar mata dan wajah.
  • Radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus. Penyakit ini pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan karena kuman ini. Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur (pembiakan bakteri) yang membutuhkan beberapa hari untuk observasi.
  • Infeksi saluran kemih. Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur urin. Setelah beberapa hari akan diketahui bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan sensitivitas terhadap antibiotik.
  • Penyakit tifus. Selain dari anamnesis (wawancara) dan pemeriksaan fisik, untuk mengetahui penyakit tifus perlu dilakukan pemeriksaan darah Widal dan kultur darah gaal.
Gunakan Antibiotik Secara Tepat
Berikut ini beberapa tips penggunaan antibiotik yang benar, sebagai pedoman para orangtua dalam memberikan antibiotik pada anaknya :
  • Memberikan antibiotik pada anak hanya dengan resep dokter, yaitu dengan dosis dan jangka waktu sesuai resep.
  • Menanyakan pada dokter, obat mana yang mengandung antibiotik.
  • Tidak menggunakan atau membeli antibiotik berdasarkan resep sebelumnya. Karena salah menggunakan antibiotik menyebabkan obat menjadi tidak efektif lagi dan bahkan bisa menimbulkan resisten (kebal) obat.
  • Pilek, batuk, dan diare pada anak umumnya tidak memerlukan antibiotik. Usahakan agar anak banyak minum, cukup makan makanan bergizi, dan istirahat. Jika demam lebih dari 3 hari periksakan anak ke dokter.
Referensi :
  • Kementrian Kesehatan RI. Buku Panduan “Gunakan Antibitik Secara Tepat Untuk Mencegah Kekebalan Obat”. Tahun 2011.
  • Prof. Iwan Dwiprahasto, “Evidence Based Medicine Guide to Antibiotic Use”. BukuClinical Updates, Practicing Current Issues in Medicine. Tahun 2010. Penerbit Cendekia Press, Yogyakarta.
  • Sumarmo S, Buku Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi 1, Tahun 2002, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
  • www.depkes.go.id
Love is...
© DUNIAKU JIWAKU - Template by Anita Surya Ningrum