Kamis, 07 Maret 2013

FIBROADENOMA MAMAE (FAM) PAYUDARA


Sahabat blogger yang saya sayangi "HAPPY INTERNATIONAL WOMEN'S DAY". karena hari ini hari wanita sedunia jagat raya hehe,saya mencoba menulis untuk sahabat bloger yang cantik-canti untuk berbagi info khusu untuk KESEHATAN KITA BERSAMA . bagaimana guys ? sudahkah kalian mendengar atau mengenal Tumor jinak ini yang sering kali menyingkatnya FAM . Khusus sahabatku yang cantik-cantik kita perlu mengetahui tentang ini. Semoga bermanfaat ya . check it out guys ! :) 


        Fibroadenoma mammae (FAM) sering ditemukan pada usia yang lebih muda, antara 16-30tahun. Insidensinya tidak diketahui pasti, sekitar 50%  hasil biopsi payudara adalah FAM, berapapun  usianya. Pada perabaan massanya berbatas tegas, kenyal, dapat digoyang, tidak nyeri.  Kadang sulit dibedakan dengan kista payudara. FAM terjadi akibat proliferasi abnormal jaringan periduktus ke dalam lobulus; dengan demikian sering ditemukan di kuadran lateral atas karena di bagian ini distribusi kelenjar paling banyak. Baik estrogen, progesteron, kehamilan, maupun laktasi dapat merangsang pertumbuhan FAM. Dahulu dilakukan biopsi ekstirpasi terhadap semua FAM. Kini, dengan makin banyaknya data, ternyata pemeriksaan sonograi  dapat membedakannya secara akurat dari kanker payudara. Selain itu, USG juga dapat digunakan untuk pemantauan berkala. Salah satu studi prospektif pada 202 wanita berusia kurang dari 40 tahun membuktikan bahwa pemeriksaan i sik, USG, dan biopsi jarum halus secara bersamaan dapat mendiagnosis 90% kasus, sehingga tidak memerlukan tindakan bedah.


Nah karena itulah para ahli bedah Tumor sangat menganjurkan pada para wanita untuk melakukan pengecekan payudara sejak dini , kanker payudara bisa dicegah dari risiko yang lebih tinggi. Akan lebih mudah bila Anda melakukan pemeriksaan payudara sendiri sehabis mandi. Gerakan meraba atau memijat lembut lebih mudah karena masih adanya sabun yang menempel di kulit,yuk mari di simak ..........


1. Perhatikan payudara dengan seksama, lihat apakah ada kelainan ataukah normal saja. Caranya ada dua, pertama dengan mengangkat kedua tangan Anda hingga di atas kepala. Kedua, letakkan kedua tangan Anda di pinggang. Cara ini bisa membantu Anda mengenali payudara. Apakah ada perubahan bentuk atau payudara tidak simetris. Anda juga bisa melihat apakah terdapat kerutan pada payudara, kulit berubah seperti kulit jeruk. Jika menemukan tanda ini sebaiknya segera periksa ke dokter.
2. Angkat lengan kiri ke atas kepala untuk melakukan pijatan lembut pada payudara. Gunakan permukaan jari yang rata untuk mengurut payudara. Pastikan untuk menyentuh seluruh bagian payudara. Gunakan pola yang sama setiap bulannya. Meraba, menekan, atau memijat lembut payudara membantu Anda mengetahui apakah ada benjolan atau tidak. Meski tidak semua benjolan adalah kanker, tetap saja, Anda perlu segera periksakan ke dokter untuk mendiagnosa dan mendapatkan penangangan yang lebih tepat.
3. Pemeriksaan payudara sendiri bisa dilakukan dengan tiga gerakan pijatan. Pertama gerakan arah berputar dengan menyentuh seluruh bagian payudara. Raba payudara dengan gerakan memutar seperti mengelilingi area puting. Gerakan kedua, lakukan pemeriksaan payudara sendiri secara sistematis, dengan arah naik dan turun. Pastikan seluruh bagianpayudara tersentuh, baik bagian pinggir dan tengahnya. Ketiga, lakukan pemeriksaan payudara sendiri dengan gerakan arah keluar dan masuk di setiap bagian payudara.
4. Periksa juga puting Anda dengan menekannya lembut. Pastikan apakah ada cairan yang keluar. Jika puting menjadi lunak, mengeluarkan darah atau cairan, ini pertanda agar Anda segera memeriksakan diri ke dokter. Selain itu ada juga tanda lain seperti puting bersisik, memerah, dan bengkak.
5. Pemeriksaan payudara sendiri juga bisa dilakukan dengan berbaring. Caranya periksa daerah antara payudara dan ketiak, serta daerah antara payudara dan tulang dada, sambil berbaring. Ulangi semua langkah 3 di atas (gerakan meraba, memijat, dan menekan lembut) untuk payudara sebelah kanan. Waspadai benjolan di sekitar ketiak.
Hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk melakukan pemeriksaan payudara sendiri. Jadi, lakukanlah secara rutin setiap bulan. Jika Anda menemukan adanya benjolan permanen, jangan ragu untuk segera memeriksakan diri ke dokter, demi penanganan lebih dini dan lebih tepat untuk mencegah kankerpayudara.


DIABETES


Hai sahabat blogger , sebagaimana kita ketahui sekarang penyakit ini tak asing lagi di telingga kita ,nanti saya akan share info yang lain tentang diabetes ini , sekarang mungkin khusus buat yg lagi nyari tugas atau bahan kuliahnya dulu ya ,hehehe .... check it ou guys !

Etiologi :
1. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes Mellitus Tergantung
Insulin disebabkan oleh destruksi sel â pulau Langerhans akibat proses autoimun.
2. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Mellitus Tidak
Tergantung Insulin disebabkan kegagalan relatif sel â pulau Langerhans dan
resisteni insulin. Resitensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Sel â tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini
sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat
dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada
rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel â
pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer, A., 1999).
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2009 :
1. Diabetes Melitus tipe 1
DM tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes “Juvenile onset” atau “Insulin dependent” atau “Ketosis prone”, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Istilah “juvenile onset” sendiri diberikan karena onset DM tipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan memuncak pada usia 11-13 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada akhir usia 30 atau menjelang 40.
Karakteristik dari DM tipe 1 adalah insulin yang beredar di sirkulasi sangat rendah, kadar glukagon plasma yang meningkat, dan sel beta pankreas gagal berespons terhadap stimulus yang semestinya meningkatkan sekresi insulin.
DM tipe 1 sekarang banyak dianggap sebagai penyakit autoimun. Pemeriksaan histopatologi pankreas menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dan destruksi sel Langerhans. Pada 85% pasien ditemukan antibodi sirkulasi yang menyerang glutamic-acid decarboxylase(GAD) di sel beta pankreas tersebut. Prevalensi DM tipe 1 meningkat pada pasien dengan penyakit autoimun lain, seperti penyakit Grave, tiroiditis Hashimoto atau myasthenia gravis. Sekitar 95% pasien memiliki Human Leukocyte Antigen (HLA) DR3 atau HLA DR4.
Kelainan autoimun ini diduga ada kaitannya dengan agen infeksius/lingkungan, di mana sistem imun pada orang dengan kecenderungan genetik tertentu, menyerang molekul sel beta pankreas yang ‘menyerupai’ protein virus sehingga terjadi destruksi sel beta dan defisiensi insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan memicu serangan terhadap sel beta, antara lain virus (mumps, rubella, coxsackie), toksin kimia, sitotoksin, dan konsumsi susu sapi pada masa bayi.
Selain akibat autoimun, sebagaian kecil DM tipe 1 terjadi akibat proses yang idiopatik. Tidak ditemukan antibodi sel beta atau aktivitas HLA. DM tipe 1 yang bersifat idiopatik ini, sering terjadi akibat faktor keturunan, misalnya pada ras tertentu Afrika dan Asia.
2.  Diabetes Melitus tipe 2
Tidak seperti pada DM tipe 1, DM tipe 2 tidak memiliki hubungan dengan aktivitas HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya pasien mempunyai sel beta yang masih berfungsi (walau terkadang memerlukan insulin eksogen tetapi tidak bergantung seumur hidup). DM tipe 2  ini bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif, sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. Pada DM tipe 2 resistensi insulin terjadi pada otot, lemak dan hati serta terdapat respons yang inadekuat pada sel beta pankreas. Terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas di plasma, penurunan transpor glukosa di otot, peningkatan produksi glukosa hati dan peningkatan lipolisis.

Pathogenesis & Morphology       :
a. Menurut Brunner dan Suddarth(2001), pathogenesis  DM yaitu:
1). Diabetes Tipe I
Pada diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pan-kreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiper-glikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia post prandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar : akibatnya, glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yangberlabihan diekskresikan ke urin, ekskresi ini akan disertai pengeluarancairan dan elektrolit yang berlebihan pula. Keadaan ini dinamakan dieresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan seera makan (Polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori, gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.
2). Diabetes Tipe II
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yaitu yang berhubungan dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi sel resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel ini. Dengan demikian insuliin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini ter-jadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

Menurut Price (1995)

Pada DM tipe II, kelainan terletak di beberapa tempat :
Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup, tetapi terdapat keterlambatan, sehingga glukosa sudah diabsorpsi masuk darah tapi insulin belum memadai.
·         Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang (antara 20.000 – 30.000); pada obesitas bahkan hanya sekitar 20.000.
·         Jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek, sehingga insulin tidak efektif.
·         Terdapat kelainan di pasca reseptor, sehingga proses glikolisis intra seluler terganggu.
·         Adanya kelainan campuran di antara no 1,2,3 dan 4

Patogenesis DM Tipe 2
Pada DM Tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel kurang. Reseptor insulin ini diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan glukosa dan glukosa di dalam darah akan meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM Tipe 1. Perbedaanya adalah DM Tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi,juga kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin.
Faktor-faktor yang banyak berperan sebagai penyebab resistensi insulin:
1. Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
2. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
3. Kurang gerak badan
4. Faktor keturunan (herediter)
Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 mempunyai dua efek fisiologis. Sekresi insulin abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran. Ada tiga fase normalitas. Pertama glukosa plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi urin karena kadar insulin meningkat. Kedua, resistensi insulin cenderung menurun sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa bentuk hiperglikemia.
Pada diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin normal, malah mungkin banyak, tetapi jumlah reseptor pada permukaan sel yang kurang. Dengan demikian, pada DM tipe 2 selain kadar glukosa yang tinggi, terdapat kadar insulin yang tinggi atau normal. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin. Penyebab resistensi insulin sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor berikut ini turut berperan :
Baik pada DM tipe 1 atau 2, jika kadar glukosa dalam darah melebihi ambang batas ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urine.


Ekspresi klinis
Gejala klasik diabetes adalah rasa haus yang berlebihan, sering
kencing terutama malam hari dan berat badan yang turun dengan cepat.
Disamping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari
tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, gairah
seks menurun, luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan
bayi dengan berat badan diatas 4 kg (Anonim, 2000).
Diabetes dapat pula bermanifestasi sebagai satu atau lebih penyulit
yang bertalian. Diabetes mellitus terutama NIDDM  (Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus), bisa tanpa gejala, sehingga sering
didiagnosis berdasarkan ketidaknormalan hasil pemeriksaan darah rutin
atau uji glukosa dalam urin. 8

Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan
dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum
diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi
pada kasus yang tidak terdeteksi. Faktor resiko yang berubah secara
epidemiologi diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan
lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas
jasmani dan hiperinsulinemia.

EMFISEMA


A.PENGERTIAN EMFISEMA
            Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema didefinisikan sebagai distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli.
Sedangkan merurut Doengoes (2000), Emfisema merupakan bentuk paling berat dari Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) yang dikarakteristikkan oleh inflamasi berulang yang melukai dan akhirnya merusak dinding alveolar sehingga menyebabkan banyak bula (ruang udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara).

B.ETIOLOGI EMFISEMA
            Menurut Brunner & Suddarth (2002), merokok merupakan penyebab utama emfisema. Akan tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil) terdapat predisposisi familiar terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitripsin-alpha1 yang merupakan suatu enzim inhibitor. Tnpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara ganetik sensitive terhadap faktor-faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, dan alergen) pada waktunya akan mengalami gejala-gejala obstruktif kronik.

C.KLASIFIKASI EMFISEMA

            Terdapat dua jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru, yaitu :
1.Emfisema sentrilobular (CLE) atau sentrocinar
            Secara selektif hanya menyerang bagian bronkiolus respiratorius. Dinding mulai berlubang, membesar, bergabung, dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang sewaktu dinding mengalami integrasi. Penyakit ini seringkali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tetapi akhirnya cenderung tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok. 

2.Emfisema panlobular (PLE) atau panlocinar
            Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bonkiolusterminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. Jika Penyakit makin parah, maka semua koponen asinus sedikit demi sedikit menghilang sehingga akhirnya hanya tertinggal beberapa lembar jaringan saja yang biasanya berupa pembuluh-pembuluh darah. PLE mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata di seluruh paru-paru meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang lebih parah, mempunyai dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktifitas dan penurunan berat badan.

D.PATOGENESIS
Patogenesis emfisema bisa di jelaskan melalui 4 proses yang saling berkaitan yaitu:
1.      Perekrutan sel inflamatory ke daerah ruang – ruang udara paru.Bisa di sebabkan oleh paparan asap rokok yang lama.
2.      Inflamatory sel tersebut melepas elastolitik proteinase yang menghancurkan matrix ekstraseluler paru
3.      Kehilangan matrix sel dapat menimbulkan apoptosis dari sel struktural paru
4.      Kemudian timbul pembesaran ruang udara paru yang merupakan akibat dari ketidakefektifan perbaikan elastin ataupun matrix ekstraselular yang rusak sehingga jadilah emfisema.

E.MANIFESTASI KLINIK EMFISEMA
1.Dispnea
2.Pada inspeksi, pasien biasanya tampak mempunyai barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan massa otot, dan pernafasan dengan bibir dirapatkan
3.Ditemukan hiperesonansi dan penurunan fremitus ditemukan pada seluruh bidang paru
4.Pada auskultasi, menunjukkan tidak terdengarnya bunyi nafas dengan krekles, ronki, dan perpanjangan ekspirasi
5.Pada tahap lanjut akan terjadi hipoksemia (kadar O2 rendah) dan hiperkapnia (kadar CO2 tinggi)
6.Anoreksia
7.Penurunan berat badan
8.Kemungkinan terjadi distensi vena leher selama ekspirasi

E.PENATALAKSANAAN EMFISEMA

            Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, untuk memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia. 
1.Bronkodilator
            Digunakan untuk mendilatasi jaln nafas karena preparat ini melawan baik edema mukosa maupun spasme muskular dan membantu baik dalam mengurangi obstruksi jalan nafas maupun dalam memperbaiki pertukaran gas.medikasi ini mencakup agonis betha-adrenergik (metaproterenol, isoproterenol dan metilxantin (teofilin, aminofilin), yang menghasilkan dilatasi bronkial melaui mekanisme yang berbeda. Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan, intravena, per rektal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol bertekanan, nebuliser balon-genggam, nebuliser dorongan-pompa, inhaler dosis terukur, atau IPPB.
2.Terapi aerosol
            Aerosolisasi (proses membagi partikel menjadi serbuk yang sangat halus) dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol harus cukup kecil untuk memungkinkan medikasi dideposisikan dalam-dalam di dalam percabangan trakeobronkial. Aerosol yang dinebuliser menhilangkan bronkospasme, menurunkan edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini memudahkan proses pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi. 
3.Pengobatan Infeksi
            Pasien dengan emfisema sangat rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. Pneumonia, H. Influenzae, dan Branhamella catarrhalis adalah organisme yang paling umum pada infeksi tersebut. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin, atautrimetroprim-sulfametoxazol (bactrim) biasanya diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada tanda pertama infeksi pernafasan, seperti dibuktikan dengan sputum purulen, batuk meningkat, dan demam.
4.Kortikosteroid
            Kortikosteroid menjadi kontroversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang sekresi. Prednison biasa diresepkan. Dosis disesuaikan untuk menjaga pasien pada dosis yang terendah mungkin. Efek samping termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu makan. Jangka panjang, mungkin mengalami ulkus peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan katarak.
5.Oksigenasi
            Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 – 85 mmHg. Pada emfisema berat oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per hari, dengan 24 jam per hari lebih baik. 



F.DIAGNOSA EMFISEMA
1.Gangguan pertukaran gas b.d. gangguan suplai oksigen, obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara
2.Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. peningkatan produksi sekret, bronkokontriksi
3.Pola nafas tidak efektif b.d. nafas pendek, adanya sekret, bronkokontriksi, iritan jalan nafas
4.Kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d anoreksia, mual/muntah
5.Resiko tinggi infeksi b.d. penurunan kerja silia, menetapnya sekret
6.Intoleransi aktifitas b.d. keletihan, hipoksemia, dan pola nafas tidak efektif

Jumat, 21 September 2012

"Dokter , Apoteker" ( ? )

            Hai sahabat blogger… kali ini entah mengapa saya ingin mencoba menulis tentang Dokter dan Apoteker dlam tanda kutinya “ Cs atau Vs “ ini karena kemarin salah satu sahabat saya menceritakan salah seorang kakak angkatan yang lagi magang di salah satu rumah sakit DIY selain itu saya sangat inspiratif sekali dengan tulisan dosen farmasi perguruan tinggi di Yogyakarta juga . Okelah mari kita mulai ya .. heheh (kayak mau lari sprint ajah )
            Kemarin eh lebih tepatnya beberapa hari yang lalu , sahabat saya menceritakan kaka angkatan yang magang di rumah sakit sebagai profesi apoteker mengalami banyak kejanggalan ( ups kayak dunia lain aja ) maksudnya itu kejanggalan dalam hal kefarmasian baik itu tentang penempatan obat dengan perbedaan kasta antar apoteker dan dokter . sebelum lebih jauh kalian membaca , ini adalh sebuah karya inspiratif saya jika ad kritik dan saran silakan leaving your coment guys :') jika ada yang salah akan rangkaikan kata serta kalimat yg tidak mengenakan hati kalian mohon maaf (karena saya manusia biasa dan msih tahapan belajar dan akan selalu belajar "lebay dikit " kekekek ) dan selamat menikmati sebuah rangkaian kata mahasiswa smester 3 heheh :')

            Siapa sih yang nggak tau kalo dokter dari dulu sampai sekarang masih dinilai istimewa , iya memang profesi yang istimewa dan profesi yang mulia juga . Dokter itu bagi saya dan mungkin yang lain menggangpnya sangatlah mulia sekali ,bisa membantu mengobati orang yang lagi sakit kan ? tapi sayang sekarang banyak dokter yang mengejar materi , nggak salah juga sih sekarang biaya pendidikan dokter itu sangat tinggi blogger , banyak sekali rincian biaya mereka sekolah dikarenakan itu juga bisa dikatakn mengejar “ balik modal “ istilahnya begitu . Kesehatan memang mahal tapi issue yang banyak sekarang dokter yang buka praktek sendiri tanpa berkerja sma dengan apoteker/apotek atau istilah lainya itu memberikan resep obat langsung di “TKP” dan banyak sekali dokter yang langsung bekerja sma dengan produk obatnya langsung dengan imbalan jika dokter trsebut memakai produk mereka . ketika mencapai omset pemakaian akan diberikan imbalan seperti liburan keluar negeri dan macem-macem lagi deh ,nah itu sih issue-issue yang sekarag lagi naik daun . jikalau produk tersebut tidak cocok dengan pasien , apakah tega seorang dokter hanya memikirkan keegoisan akan kebhagian atau kesuksesannya saja ?  apakah produk itu tetap akan diberikan demi hadiah-hadiah yg dijanjikan ? bukankah itu dokter yg tidak punya hati nuraninya sebagi dokter  yang sesunguhnya ?  memang sih yah pemberian obat di tempat praktek langsung itu diperbolehkan tapi jika itu jauh dari keberadaan apotek atau memang berada ditempat terpencil tau keadaan yg mendesak .
            Okey blogger tidak semua dokter seperti itu , pasti dan saya sangat yakin msih ada dokter yang selalu memikirkan pasiennya dari beberapa kalangan , karena ketika pasien yang berasal dari kalangan yang kurang mampu  perlu dan sangat perlu diperhatikan baik segi finansialnya dan pelayanannya , karena banyak sekali kalangan kurang mampu membutuhkan perhatian kesehatan .
            Pernah mendengarkan perbedaan kasta blogger ? pasti sudah yak karena semasa bangku SD kita sudah diperkenalkan dengan kata itu heheh . bagaimana sih rasanya ketika kasta berlaku ? rasanya seperti dunia tidak adil,bukan? Seperti tidak dihargai , bukan ? begitulah, sometimes dunia terlihat dengan kastanya,ketika kita bertemu dengan mereka yg seperti mementingakn kasta tapi tenang saja blogger tidak semua manusia seperti itu hanya mereka yang tidak pernah melihat kebwah dan mereka yang terlalu menikmati dunia mereka saat ini tanpa memikirkan ketika mereka menjadi  orang lain yg merasakan hal yg mereka perlakukan , yah begitulah kira-kira .
            Ini tentang cerita dari salah satu sahabat saya , di salah satu rumah sakit ketika ada apoteker yang maggang disana , kasta antara dokter dengan tenaga kesehatan lainnya terlihat dengan jelas . bagaimanapun juga saya kurang tahu di rumah sakit yang lainnya tetapi banyak yg bercerita hal yg sama . jadi begini jika kalo kita lihat dari segi PNS bukankah sma pangkat antara dokter deng profesi apoteker ?  sma kan ? tapi tidak dengan perlakuan blogger … dokter terlihat lebih special disana tapi tidak dengan apotekernya .
Kalo kita mengacu pada good pharmacy practise, apoteker memang yang bertanggung jawab penuh dan memiliki wewenang dalam proses pembuatan atau peracikan obat, misal puyer, dan menjamin kualitas dan stabilitas bentuk sediaan sehingga aman dikonsumsi oleh pasien. Apoteker dalam prakteknya,haruslah melakukan screening resep terlebih dahulu,sebagai proses pengoreksian agar kemungkinan adanya ketidakrasionalan penggunaan,maupun interaksi obat dapat ditekan seminim mungkin.Bisa jadi dokter (yang dalam kasus ini hanya berwewenang mendiagnosis penyakit pasien dan MENULISKAN RESEP,bukan membuat/menyerahkan obat langsung pada pasien...) melakukan sedikit kesalahan...dan Apoteker mengoreksinya....bila memang dirasa salah (misal,dosis terlalu tinggi), apoteker dapat mengusulkan pada dokter dan bertanya,mengapa dosis yang ditulis dalam resep sekian...apa tidak terlalu tinggi...atau bagaimana...
Namun pada kenyataannya memang sering terjadi penyimpangan.. Baik dari apotekernya sendiri maupun dari dokternya. Apoteker tidak selalu berada di apotek. Dokter melakukan dispensing obat langsung kepada pasien meski ditengah kerumunan apotek. Ketidakhadiran apoteker di apotek menyebabkan tidak terselenggaranya good pharmacy practisesecara optimal dan dokter yang melakukan pekerjaan kefarmasian (dispensing) luput dari mekanisme kontrol yang seharusnya tidak boleh terlewatkan dalam proses pengobatan
 Sejak dulu,  Apoteker, atau Farmasis, memang dikenal sebagai pembuat obat di pabrik, atau penjual obat di apotek. Tapi sebenarnya, kebisaan apoteker tidak hanya itu. Bermula di negara maju seperti Amerika dan Inggris, pada dua dasawarsa teakhir, orientasi kegiatan farmasis/apoteker telah bergeser dari berorientasi produk menjadi berorientasi pasien. Artinya bahwa pelayanan farmasi tidak sebatas membuat atau menjual obat saja, tapi juga memastikan bahwa pasien menggunakan obatnya dengan tepat dan benar. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan informasi dan edukasi seluas-luasnya pada pasien dan masyarakat mengenai penggunaan obat yang benar. Informasi dan edukasi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bisa di apotek, rumah sakit, lewat media massa, atau cara apa saja. Sementara itu, di rumah sakit, mulai tampil apoteker dengan “wajah baru” yaitu sebagai farmasis klinik. Yakni, apoteker yang memiliki keahlian klinik dan terlibat dalam tim kesehatan di rumah sakit untuk memantau terapi dan pengobatan pasien, guna memastikan bahwa pasien mendapatkan pengobatan yang tepat, aman dari efek samping, dan ekonomis. Di Indonesia, profesi farmasis klinik mulai menggeliat, walau masih perlu meniti jalan panjang.

Untuk itu, apoteker perlu bisa bekerja sama dengan tenaga kesehatan yang lain, termasuk dengan dokter. Konsep kolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain relatif masih cukup baru bagi farmasi, dibanding bagi perawat misalnya, yang telah mengenal konsep tersebut sejak lama dan hal itu mudah ditemukan dalam berbagai literatur ilmu keperawatan. Tidak kurang di AS sendiri, hubungan antara dokter dan Apoteker belum mencapai taraf yang ideal. Usaha-usaha untuk menyakinkan dokter untuk memanfaatkan keahlian Apoteker dalam membantu memanage terapi pasien masih belum sepenuhnya berhasil. Tulisan ini mencoba menyoroti hubungan dokter-apoteker, yang mestinya jadi cs bukannya vs, kawan bukannya lawan.

Dalam sebuah publikasinya, McDonough dan Doucette (2001) mengusulkan satu model untuk Hubungan Kerja Kolaboratif antara Dokter dan Apoteker (Pharmacist-Phycisian Collaborative Working Relationship. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hubungan ini antara lain disebutkan:
a.    Karakteristik partisipan. Yang termasuk karakteristik partisipan adalah faktor demografi seperti pendidikan dan usia. Contohnya, dokter muda yang sejak awal dididik untuk dapat bekerja sama dalam tim interdisipliner mungkin akan lebih mudah menerima konsep hubungan dokter-Apoteker.
b.    Karakteristik konteks. Yang dimaksud adalah kondisi pasien, tipe praktek (apakah tunggal atau bersama), kedekatan jarak praktek, banyaknya interaksi, akan menentukan seberapa intensif hubungan yang akan terjalin.
c.    Karakteristik pertukaran. Yang termasuk di sini antara lain adalah: ketertarikan secara profesional, komunikasi yang terbuka dan dua arah, kerjasama yang seimbang, penilaian terhadap performance, konflik dan resolusinya. Semakin seimbang pertukaran antara kedua belah pihak, akan memungkinkan hubungan kolaboratif yang lebih baik.
Bagaimana memulai suatu hubungan kerjasama yang kolaboratif antara dokter dan Apoteker? Menurut McDonough dan Doucette (2001) ada 4 tahap stage hubungan.
Stage 0 : Professional awareness.
Ini adalah stage awal, di mana masing-masing profesi saling mengenal dan mengetahui. Hubungannya masih “alamiah”, hanya sebatas Apoteker menerima resep dari dokter, kemudian dispensing. Apoteker mengontak dokter jika terjadi hal-hal tidak jelas yang terkait dengan resep (dosis, nama obat, dsb), dan menjawab pertanyaan tentang infomasi obat. Tidak ada diskusi lebih lanjut apakah obat telah memberikan hasil optimal kepada pasien.
Mestinya Apoteker tidak boleh puas hanya dengan stage tersebut, walau dianggap lebih aman secara profesional. Apoteker perlu meningkatkan peranannya untuk mencapai pada stage 1.
Stage 1 : Professional recognition.
Pada awalnya, usaha untuk meningkatkan frekuensi dan kualitas hubungan dokter-Apoteker cenderung unilateral, dengan Apoteker yang harus memulai. Apoteker perlu berusaha untuk membuat dokter menjadi paham tentang apa-apa yang bisa “disumbangkan” Apoteker terhadap pelayanan pasien, misalnya menunjukkan keahliannya dalam memberikan informasi obat yang up to date, memberikan alternatif obat untuk kondisi-kondisi khusus pasien, dsb.  Dari situ dokter akan dapat membangun dasar kepercayaan dan menumbuhkan komitmen terhadap hubungan kerjasama dengan Apoteker.Pada stage ini, komunikasi sering merupakan tantangan tersendiri. Jangan sampai terjadi miskomunikasi bahwa seolah-olah Apoteker akan “mengintervensi” wewenang dokter dalam memilih obat atau akan menjadi “polisi” yang akan mengawasi pengobatan oleh dokter. Justru perlu ditekankan bahwa Apoteker adalah mitra yang akan membantu dokter sesuai dengan kewenangannya, demi tercapainya pengobatan pasien yang optimal.
Pada stage ini dapat dirumuskan mengenai bentuk kerjasama, bagaimana cara komunikasinya, bagaimana protokolnya, dan dibuat suatu kesepakatan.
Stage 2: exploration and trial.
Setelah hubungan kerjasama disepakati untuk berlanjut, masuklah pada stage ke 2. Pada stage ini partisipan (dokter dan Apoteker) akan menguji kekompakan, harapan, kepercayaan dan komitmen mereka terhadap hubungan kerjasama. Dokter mungkin akan memutuskan untuk merujuk pasien ke Apoteker untuk hal-hal yang terkait dengan obat, misalnya penyesuaian dosis dan konseling obat, dan mengevaluasi kompetensi Apoteker untuk memutuskan apakah kerjasama ini cukup bermanfaat dan dapat dilanjutkan. Sebaliknya Apoteker juga dapat menilai apakah dokter tersebut dapat diajak bekerja sama yang positif.Pada fase ini, jika harapan dokter terhadap Apoteker terpenuhi, dokter akan memberikan kepercayaan kepada Apoteker untuk meneruskan kerjasama untuk bersama-sama memberikan pelayanan yang terbaik pada pasien. Sebaliknya jika ternyata harapan masing-masing tidak terpenuhi dari adanya hubungan ini, maka hubungan kerjasama mungkin akan berakhir.
Jika dokter dan Apoteker telah melihat dan mendapatkan manfaat kerjasama mereka dari stage exploration and trial, maka mereka dapat meningkatkan dan memperluas kerjasama profesional tersebut dan sampai ke stage 3.
Stage 3: professional relationship expansion.
Pada stage ini kuncinya adalah komunikasi, pengembangan norma/aturan yang disepakati, penilaian performance, dan resolusi konflik. Pada fase ini the exchange efforts masih belum seimbang, dengan Apoteker perlu secara kontinyu mengkomunikasikan mengenai manfaat bagi pasien yang mendapat pelayanan farmasi yang tepat. Jika performance Apoteker sesuai dengan ekspektasi dokter, dokter dan Apoteker secara pelan-pelan akan memantapkan lingkup dan kedalaman saling ketergantungan (interdependence) mereka. Tujuannya adalah memelihara atau meningkatkan kualitas pertukaran sehingga hubungan profesional dapat terus dikembangkan
Stage 4: commitment to the collaborative working relationship.
Kolaborasi akan semakin mungkin terwujud jika dokter telah melihat bahwa dengan adanya kerjasama dengan Apoteker resiko praktek pelayanannya menjadi lebih kecil, dan banyak nilai tambah yang diperoleh dari kepuasan pasien. Komitmen akan lebih mungkin tercapai jika usaha dan keinginan bekerjasama dari masing-masing pihak relatif sama. Dokter akan mengandalkan pengetahuan dan keahlian Apoteker mengenai obat-obatan, sementara Apoteker akan bersandar pada informasi klinis yang diberikan oleh dokter ketika akan membantu memanage terapi pasien. Pada stage ini pertemuan tatap muka untuk mendiskusikan masalah pasien, masalah-masalah pelayanan, dan hal-hal lain harus dijadwalkan, dan bisa dikembangkan bersama tenaga kesehatan yang lain. Selain itu adanya komitmen kerjasama ini perlu diinformasikan kepada tenaga kesehatan yang lain sehingga mereka dapat turut terlibat di dalamnya.

Demikian model kolaborasi antar tenaga kesehatan, khususnya antara dokter dan Apoteker. Tentunya masih diperlukan waktu untuk bisa sampai pada tingkat yang diiinginkan. Bagi Apoteker sendiri perlu selalu meningkatkan pengetahuan dan keahlian, meng-update diri  terhadap informasi-informasi kesehatan yang sangat cepat berkembang, sehingga mendapat kepercayaan dari tenaga kesehatan lain sebagai tenaga yang berkompeten dalam hal obat dan pengobatan.

" DEMI KEMAJUAN KESEHATAN DUNIA "INDONESIA" , HILNGKANLAH KEEGOISAN KEMBALIKAN HATI NURANI REZEKI TELAH DI ATUR YANG DIATAS . KITA ? IYA KITA CALON ATAU SUDAH JADI TENAGA KESEHATAN UNTUK ABDI NEGARA  . WE ARE PARTNER NOT VS ! "

Minggu, 22 Juli 2012

COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease)

COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) merupakan penyakit pada paru-paru dimana saluran udara terhambat dan menyebabkan Anda kesulitan bernapas. Emfisema dan bronkitis asma kronis adalah dua kondisi utama yang dapat menyebabkan COPD. Kerusakan pada saluran udara tersebut mengganggu pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam paru-paru.


COPD kebanyakan disebabkan oleh kebiasaan merokok yang telah terjadi dalam jangka waktu yang lama. Penyakit ini dapat dicegah dengan tidak merokok atau berhenti merokok sesegera mungkin. Kerusakan pada paru-paru ini tidak dapat disembuhkan, sehingga pengobatan berfokus pada pengendalian gejala dan meminimalkan kerusakan lebih lanjut. COPD terutama mengacu pada obstruksi di paru-paru yang disebabkan oleh bronkitis asma kronis dan emfisema.


Secara umum, gejala COPD tidak muncul sampai kerusakan paru-paru yang signifikan telah terjadi, dan penyakit ini dapat memburuk dari waktu ke waktu. Tanda dan gejala COPD dapat bervariasi, tetapi kebanyakan orang mengalami gejala seperti ini: 1. Sesak napas 2. Mendesah 3. Dada sesak 4. Batuk kronis


Tidak ada obat untuk COPD dan Anda tidak dapat memperbaiki kerusakan pada paru-paru. Namun terapi dapat mengendalikan gejala COPD dan mengurangi risiko komplikasi. Dokter mungkin akan menyarankan Anda mengambil obat untuk mengobati gejala dan komplikasi dari COPD. Anda dapat mengambil beberapa obat seperti Bronkodilator, inhaler Steroid dan antibiotik. Sumber: MayoClinic



Bentuk Darah Manusia Ketika Sedang Berdoa, Sedih, Jatuh Cinta dan Takut


Sebuah penelitian dilakukan oleh pakar EFT untuk menunjukkan bagaimana kondisi darah manusia disaat normal, sedih, gembira, jatuh cinta dan saat berdoa. EFT itu sendiri apa sih??? Untuk lebih jelasnya silahkan baca disini. Oke, kita lanjutkan saja. Pakar EFT tersebut mengambil sampel darah seorang pasien (Rebecca) kemudian memotretnya dengan menggunakan “darkfield microscope” yang dihubungkan dengan monitor komputer. Dan tampaklah perubahan drastis pada darah Rebecca tersebut setiap kali emosinya berubah. Berikut ini adalah foto darah seorang Rebecca sebelum dan sesudah melakukan EFT.

Sebelum melakukan EFT
( sel darah merah menggumpal disebabkan oleh Lectin yang didapat dari alergi ayam & alpukat )
Sesudah melakukan EFT
( sel darah merah menjadi normal kembali )

Kemudian Rebecca melakukan EFT lagi dan mengundang emosi “sedih” dengan cara memikirkan saat-saat sedih sampai dia menangis, lalu sang pakar EFT ( Dr. Felicy) mengambil sampel darahnya lagi.

Kondisi darah saat sedih ( sel darah begerak cepat dan berbentuk air mata )

Lalu Rebecca menggunakan EFT untuk mengundang energi “cinta” untuk memasuki tubuh dan darahnya. Dan seketika darahnya kembali normal, dan sel-sel darah bergerak dengan indah dan timbul substansi yang berkilauan dalam cairan darah.

Kondisi darah saat merasakan cinta :
( sel darah bergerak pelan dan cenderung berkumpul )

Satu kenyataan menarik pada sampel darah saat “sedih” terjadi perubahan seperti pada sampel darah saat “merasakan cinta”. Jadi walaupun darah itu sudah meninggalkan tubuh Rebecca ia tetap masih berhubungan dengan pemiliknya.
Kemudian seorang Rebecca mengundang rasa takut dan memikirkan kejadian menakutkan yang pernah ia alami. Dan sel-sel dalam darahnya bergerak tidak beraturan dengan sangat cepat (ditunjukkan pada gambar dibawah dimana terlihat sel-sel darah saling berjatuhan). Mungkin ini adalah akibat dari produksi adrenalin sebagai reaksi normal atas rasa takut.
Kondisi darah saat merasa takut

Lalu Rebecca mecoba untuk memikirkan “sifat feminine Tuhan”. Dalam keyakinan agamanya ia sebut “divine mother”, sifat penyayang, penyantun dan pemelihara ( dalam islam disebut sifat “Jamaliah” Allah). Dan memohon kepada-Nya untuk menyalurkan energi feminine itu kedalam tubuh dan darahnya. Saat berdoa tersebut, Rebecca merasakan seperti ini “saya merasakan gelombang energi yang begitu besarnya menyelimuti diri saya, saya sampai menangis bahagia karenanya”, begitu Rebecca tersebut menggambarkan pengalamannya.

Saat sampel darah Rebecca diambil setelah berdoa dan merasakan pengalaman religius itu, kemudian dilihatkan dibawah mikroskop yang dihubungkan dengan komputer, semua yang hadir dilaboratorium itu seketika terdiam dan terpana karena melihat komdisi darah yang sama sekali berbeda dengan yang lain, cairah darahnya sangat cerah, gerakan sel darah sangat tenang seakan bergerak dengan penuh kedamaian, muncul banyak substansi yang berkilauan. Di dalam sel darah terdapat substansi yang bercahaya dan berdenyut seperti denyutan jantung mini.

Kondisi darah saat “berdo’a”
(timbul substansi putih berkilauan dan darah bergerak pelan dan sangat teratur)


Love is...
© DUNIAKU JIWAKU - Template by Anita Surya Ningrum